Sempat Menolak, Ini Alasan Gerindra Akhirnya Setuju Revisi UU KPK

Sempat Menolak, Ini Alasan Gerindra Akhirnya Setuju Revisi UU KPKvertikal fadli zon. ©2019 Liputan6.com/Johan Tallo
 Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyebut, Gerindra menyepakati beberapa subtansi dalam revisi UU KPK. Sebabnya, dia menolak Gerindra disebut tidak konsisten terhadap revisi UU KPK. Namun, dia mengaku pada 2017, fraksi Gerindra menolak revisi UU ini.
"Saya kira persoalannya kan ada beberapa substansi yang kita punya pikiran yang sama. Jadi, saya kira substansi itu yang harus kita bicarakan di dalam pembahasan nanti. Tentu dengan mendengarkan juga dong aspirasi dari KPK, masyarakat, civil society dan semua pihak," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (6/9).
Kendati begitu, Fadli tidak merincikan apa saja yang sepahaman dengan pandangan Gerindra. Fadli mengaku belum mengecek usulan revisi UU KPK yang telah diparipurnakan karena tengah di luar kota.
Menurutnya, revisi UU KPK masih sebatas usulan. Fadli menuturkan, masih akan ada dinamika politik. Beberapa usulan yang sekarang disepakati, kata Fadli masih masuk akal.
"Itu kan baru diusulkan. Nanti dalam pembahasannya Saya kira akan ada komunikasi politik akan ada dinamikanya. Jadi sejauh saya kira poin-poin yang diusulkan kalau itu mengacu kepada yang lalu, masih masuk akal gitu," ucapnya.
Fadli juga memandang, tidak ada hubungan revisi UU KPK dengan revisi UU MD3. Menurutnya, tidak ada kesepakatan tukar guling untuk menggolkan kedua revisi UU tersebut.
"Tidak ada hubungannya ya. Saya kira kalau MPR kan kita tahulah tugasnya. Jadi tidak ada, yang menonjol di sana. Justru lebih kepada sosialisasi jadi kepemimpinannya ya ada perwakilan dari semua fraksi yang ada, plus DPD, saya kira enggak ada masalah," jelasnya.
Sebelumnya, DPR menyetujui revisi UU KPK menjadi usulan. Beberapa poin yang disepakati adalah tentang pembentukan dewan pengawas, kewenangan pemberhentian kasus, penyadapan dan tentang pegawai KPK. [rnd]
Share:

Revisi UU KPK Bentuk Serangan Legislatif dari DPR

Revisi UU KPK Bentuk Serangan Legislatif dari DPRTolak Revisi UU KPK. ©2019 Merdeka.com/Dwi Narwoko
 Revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR mendapat penolakan dari berbagai pihak. Bukan cuma KPK, tapi juga penolakan dilakukan oleh para pegiat antikorupsi. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam, revisi tersebut merupakan bentuk serangan legislatif terhadap KPK.
"Hal ini (merupakan) bentuk legislation attack terhadap KPK. Upaya melemahkan KPK sudah dilakukan dengan berbagai metode-metode yang lain. Kita masih ingat upaya itu menggunakan hak angket," kata Arif di Kantor Transparansi Internasional Indonesia, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (6/9).
Menurutnya, hal itu jelas merupakan upaya dari legislatif untuk melumpuhkan lembaga antirasuah itu. Upaya lain di luar legislatif pun, kata Arif, kerap ditunjukkan terhadap lembaga tersebut. Arif mencontohkan, teror terhadap para petinggi KPK juga merupakan salah satunya.
"Laporan terhadap KPK (kriminalisasi). Dan menyiapkan (memasukkan) petinggi KPK dari orang-orang kepolisian," ucap Arif.
Arif juga meminta supaya pemerintah menangkal serangan legislatif terhadap KPK. "Kita harapkan pemerintah harus hadir, kita tahu bersama korupsi itu kejahatan luar biasa. Dibutuhkan keberanian dari presiden," tegas Arif.
Apalagi, lanjut Arif, presiden kala kampanye kerap menggemakan antikorupsi kepada pemilihnya.
"Saat momen kampanye, presiden kita secara gamblang (berkomitmen) akan membersihkan bangsa ini secara baik ke depannya," tutup Arif.
Diduga Salah Prosedur
Sementara itu, Pendiri Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menegaskan, revisi undang-undang KPK menyalahi prosedur dan undang-undang. Hal ini, menurut Ray, apabila ditinjau dari beberapa sudut, seperti tata tertib DPR dan maupun undang-undang.
Ia melihat, misalnya saat revisi undang-undang KPK tersebut memaksakan diadakannya dewan pengawas bagi KPK. Kata Ray, hal itu jelas menyalahi perundangan, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
"KPK itu lembaga independen di bawah presiden," kata Ray.
Selain itu, Ray melihat, dari sisi prosedural rapat di DPR pun menyalahi aturan. Ia meminta kepada semua pihak untuk memverifikasi terkait kehadiran anggota dewan dalam rapat yang membahas usulan revisi tersebut.
Menurutnya, yang datang secara fisik dalam rapat itu sejumlah 88 orang. Sedangkan, pihak DPR mengaku bahwa yang menandatangani kehadiran sejumlah 305 dewan. Oleh karenanya, kata Ray, jika total anggota dewan saat ini berjumlah 560, maka jumlah 305 sudah lolos kuota forum (kuorum).
"Tapi coba teman-teman media atau siapapun mengkroscek apakah 200 sekian yang tidak ada kehadirannya secara fisik itu benar-benar tanda tangan," pinta Ray.
Kalau tidak ada, lanjut Ray, maka rapat paripurna kemarin jelas tidak sah. "Kalau tidak ada, jelas rapat paripurna kemarin tidak memenuhi kuorum dan hasilnya (revisi UU KPK) juga tidak sah," tegas Ray.
"(Karena) menurut saya tidak memenuhi prinsip-prinsip yang diatur oleh konstitusi kita," tutup Ray.
Reporter: Yopi Makdori
Sumber: Liputan6.com [rnd]
Share:

KPK Sebut Revisi UU KPK Bertentangan dengan Instruksi Jokowi

KPK Sebut Revisi UU KPK Bertentangan dengan Instruksi Jokowi  Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
 Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menyatakan Undang-undang KPK versi revisi yang baru saja disahkan oleh DPR akan melumpuhkan bagian penindakan komisi antirasuah itu.

"Jika apa yang kami terima dari media adalah benar, Undang-undang KPK versi revisi akan melumpuhkan penindakan KPK," kata Laode kepada wartawan, Selasa (17/9).

Laode menilai revisi yang disepakati kemarin juga merupakan pertentangan dari instruksi Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada Jumat pekan lalu.


"Revisi yang disepakati kemarin bahkan melampaui instruksi Presiden yang disampaikan dalam konferensi pers minggu yang lalu," kata dia.


Dalam konferensi pers, Jokowi menyatakan perlu penyempurnaan terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah berusia 17 tahun.

Jokowi memastikan penyempurnaan UU KPK ini untuk menguatkan lembaga antirasuah dibanding lembaga lain dalam memberantas korupsi.

"Perlu adanya penyempurnaan secara terbatas sehingga pemberantasan korupsi makin efektif," kata Jokowi dalam jumpa pers.

Sebelumnya, DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menjadi undang-undang. Persetujuan diambil dalam Rapat Paripurna kesembilan tahun sidang 2019-2020 yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9).

Terdapat tujuh poin revisi yang disepakati oleh DPR dan Pemerintah. Ketujuh poin revisi UU KPK yang telah disepakati DPR dan pemerintah yaitu, pertama, terkait kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen.

Kedua, mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK. Ketiga, terkait pelaksanaan fungsi penyadapan. Keempat, mengenai mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara tindak pidana korupsi oleh KPK.

Kelima, terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.

Keenam, mengenai mekanisme penggeledahan dan penyitaan, dan ketujuh terkait sistem kepegawaian KPK.                                                                                                                                                                                                                                                                                                           Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190917223447-20-431401/kpk-sebut-revisi-uu-kpk-bertentangan-dengan-instruksi-jokowi
Share:

DPR dan Pemerintah Sepakat Permudah Bebas Bersyarat Koruptor

DPR dan Pemerintah Sepakat Permudah Bebas Bersyarat Koruptor Ilustrasi Rapat paripurna DPR RI. (CNN Indonesia/ Ramadhan Rizki Saputra).
 Komisi Hukum DPR dan pemerintah sepakat membawa revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ke Rapat Paripurna dalam waktu dekat. Kesepakatan itu diambil dalam rapat yang digelar di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa (17/9) malam.

Salah satu poin strategis yang sudah disepakati DPR dan pemerintah dalam Revisi UU Pemasyarakatan itu adalah kemudahan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi dan terorisme.

Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik mengatakan revisi UU Pemasyarakatan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.


Konsekuensinya, DPR dan pemerintah menyepakati penerapan kembali PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang pemberian pembebasan bersyarat.

"Kami berlakukan PP Nomor 32 Tahun 1999 yang berkorelasi dengan KUHP," kata Erma.

PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur prasyarat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan berat. Salah satu syaratnya adalah mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk ikut membongkar tindak pidana yang dilakukannya alias bertindak sebagai justice collaborator.

Tak hanya itu, dalam Pasal 43B ayat (3) PP 9/2012 itu mensyaratkan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan remisi.

Sedangkan, PP Nomor 32 Tahun 1999 yang akan kembali dijadikan acuan dalam RUU Pemasyarakatan ini tak mencantumkan persyaratan tersebut.

PP 32/1999 itu hanya menyatakan remisi bisa diberikan bagi setiap narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik.

Lebih lanjut, Erma menjelaskan berlakunya kembali PP Nomor 32 tahun 1999 dalam RUU Pemasyarakatan menjadikan pemberian pembebasan syarat tergantung pada vonis hakim pengadilan.

"Jadi pengadilan saja. Kalau vonis hakim tidak menyebutkan bahwa hak anda sebagai terpidana itu dicabut maka dia berhak untuk mengajukan itu," kata dia.

Erma menyebutkan hal tersebut sudah sejalan dengan asas hukum pidana dalam konteks pembatasan hak.

Berdasarkan asas hukum pidana, hak seorang warga negara hanya bisa dicabut atau dibatasi oleh dua hal, yakni undang-undang dan putusan pengadilan.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918095852-32-431465/dpr-dan-pemerintah-sepakat-permudah-bebas-bersyarat-koruptor
Share:

Mahasiswa Gugat UU KPK ke MK

Mahasiswa Gugat UU KPK ke MK Ilustrasi persidangan di Mahkamah Konstitusi. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
 Sebanyak 18 mahasiswa dari sejumlah universitas menggugat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK yang baru disahkan DPR ke Mahkamah Konstitusi, Rabu (18/9).

Kuasa pemohon, Zico Leonard mengatakan, terdapat dua gugatan yang diajukan yakni gugatan formil dan materiil. Pada gugatan formil, para penggugat mempersoalkan proses pembentukan UU yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat.


Padahal sesuai prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan mengatur keterbukaan.

"Tidak terpenuhinya asas keterbukaan ini dapat dilihat dari keputusan revisi yang diambil tiba-tiba serta pembahasan yang dilakukan tertutup dalam waktu yang sangat terbatas," ujar Zico dikutip dari salinan gugatan yang diterima CNNIndonesia.com.


Para penggugat juga mengkritik kejanggalan dalam proses pengambilan suara saat UU KPK disahkan oleh DPR pada Selasa (17/9). Berdasarkan hitung manual, rapat paripurna hanya dihadiri 80 anggota DPR. Namun Wakil Ketua DPR yang menjadi pimpinan sidang Fahri Hamzah menyatakan ada 289 yang tercatat hadir dari 560 anggota dewan.

"Dengan demikian pembentukan UU KPK yang baik tidak dipenuhi hingga timbul kerugian yang seharusnya dapat dicegah," katanya.


Sementara dalam gugatan materiil, para penggugat mempersoalkan syarat pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 29 UU KPK. Sejumlah syarat di antaranya tidak pernah melakukan perbuatan tercela, memiliki reputasi yang baik, dan melepaskan jabatan struktural atau jabatan lain selama menjadi bagian KPK.

Menurut Zico tak ada mekanisme hukum yang jelas jika ada pelanggaran terhadap syarat-syarat tersebut. Sedangkan pimpinan KPK terpilih Firli Bahuri diketahui menuai pro kontra usai dugaan pelanggaran etik yang dilakukan saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.

"Terlepas benar tidaknya segala permasalahan yang diatributkan ke Firli, seharusnya ada upaya hukum melalui pengadilan untuk membuat terang hal tersebut demi menghilangkan fitnah di masyarakat," ucap Zico.

Para penggugat meminta MK mengeluarkan putusan provisi atau pembacaan putusan sebelum putusan akhir mengingat pimpinan KPK yang baru akan segera dilantik Desember mendatang.

"Pemohon meminta ke MK untuk memerintahkan DPR dan presiden menghentikan pelantikan anggota KPK," tuturnya.

Gugatan ini di antaranya diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) M Raditio Jati Utomo, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Putrida Sihombing, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Jovin Kurniawan, dan politikus Timothy Ivan Triyono.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918144811-12-431595/mahasiswa-gugat-uu-kpk-ke-mk
Share:

DPR-Pemerintah Sepakati RKUHP, Pasal 418 soal Zina Dihapus

DPR-Pemerintah Sepakati RKUHP, Pasal 418 soal Zina Dihapus Ilustrasi rapat DPR RI. (Adhi Wicaksono)
 Komisi Hukum DPR RI dan pemerintah secara resmi bersepakat untuk membawa Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) untuk dibawa ke rapat paripurna.

Kesepakatan itu diambil dalam rapat yang digelar di Ruang Rapat Komisi III DPR, Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta pada Rabu (18/9).

"Izinkan saya untuk memberikan pengasahan untuk diketok. Bisa disepakati?" tanya Ketua Komisi III sekaligus pemimpin sidang, Aziz Syamsyudin.


"Setuju," ujar anggota Komisi III yang hadir.



"Bagaimana Pak Menteri setuju?" tanya Aziz kepada Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang hadir dalam rapat tersebut.

"Setuju," kata Yasonna.

"Tok" bunyi palu yang diketuk Aziz sebagai tanda RKUHP disepakati.

Ketok Palu dari Aziz itu pun langsung disambut tepuk tangan meriah dari para anggota dewan yang hadir.



Pasal 418 RKUHP Di Hapus

Tak ada perubahan yang signifikan dalam rapat pengambilan tingkat I RKUHP yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly itu. Rapat itu hanya menyepakati untuk menghapus pasal 418 RKUHP yang terkait perzinaan.

Diketahui, pasal 418 RKUHP awalnya mengatur tentang ancaman pidana selama empat tahun bagi orang yang melakukan hubungan seks dengan wanita dan memberikan 'harapan palsu' atau iming-iming akan dinikahi.

"Laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini, kemudian mengingkari janji tersebut karena tipu muslihat yang lain dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak kategori III," bunyi pasal 418 ayat 1 RKUHP.



Namun, jika hubungan seks tersebut bisa mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin, maka berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan, pelaku bisa terancam dipidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV.

"Dari masukan-masukan takutnya nanti ada upaya-upaya kriminalisasi, pemerasan dan lain-lain dilakukan oleh pihak-pihak oleh karena sesuatu hal. Jadi tanpa membahas lebih dalam, ya, pasal 418 pemerintah, saya memohon untuk di-drop," kata Yasonna.

Penghapusan pasal itu pun akhirnya disepakati melalui mekanisme forum lobi antara seluruh fraksi dan Yasonna yang mewakili pemerintah.



Tak hanya itu, seluruh fraksi yang hadir dalam rapat itu secara kompak menyetujui substansi yang sudah diatur dalam RKUHP. Sebanyak 10 fraksi yang ada di komisi III tak ada satupun yang menolak terkait substansi pembahasan tersebut.

Sebelumnya, berbagai kritik dan penolakan turut disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat sipil sepanjang pembahasan RKUHP. Mereka menilai banyak pasal yang terkandung RKUHP bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Untuk mekanisme selanjutnya, DPR akan mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang akan digelar dalam waktu dekat.                                                                                                                                                                                                                                                             Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918172405-32-431650/dpr-pemerintah-sepakati-rkuhp-pasal-418-soal-zina-dihapus
Share:

KPK: Penyidikan Menpora Digelar Sebelum Revisi UU KPK Diketok

KPK: Penyidikan Menpora Digelar Sebelum Revisi UU KPK Diketok Jubir KPK Febri Diansyah menyebut penyidikan Menpora dilakukan jauh sebelum revisi UU KPK diketok DPR. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
 Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengungkapkan penyidikan terhadap Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi sudah dilakukan sejak 28 Agustus 2019.

Dengan kata lain, hal itu dilakukan jauh sebelum revisi Undang-undang KPK disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (17/9).

"Penyidikan mulai dilakukan sejak 28 Agustus 2019. Ada sejumlah kegiatan yang dilakukan penyidik selama waktu tersebut, termasuk pemeriksaan dan penahanan MIU (Miftahul Ulum, Asisten pribadi Menpora)," kata Febri kepada wartawan, Jakarta, Rabu (18/9) malam.


"Penyidikan ini kami lakukan sebelum Revisi UU KPK diketok di paripurna DPR. Karena memang hasil penyelidikan sudah menyimpulkan bukti permulaan yang cukup telah terpenuhi," sambung dia.

Imam, yang merupakan kader PKB, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar sebagai bentuk comitment fee pengurusan proposal yang diajukan KONI kepada Kemenpora.


"Total dugaan penerimaan Rp26,5 miliar diduga commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI ke Kemenpora, terkait Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan selaku Menpora," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/9).

Uang itu diterima secara bertahap yakni sebesar Rp14,7 miliar dalam rentang waktu 2014-2018 melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum yang juga menjadi tersangka dalam perkara ini.

Imam juga diduga meminta uang Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016-2018.


Atas ulahnya itu, Imam disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Diketahui, Rapat Paripurna DPR menyetujui sejumlah poin-poin perubahan kontroversial dalam UU KPK, yang pada intinya dianggap melemahkan pemberantasan korupsi. Tujuh fraksi, termasuk Fraksi PKB, menyetujui semua poin perubahan itu.                                                                                                                                                                                                                                                                   Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918194417-12-431720/kpk-penyidikan-menpora-digelar-sebelum-revisi-uu-kpk-diketok
Share:

Wiranto: KPK Bagian Eksekutif, Pegawai Harus Jadi PNS

Wiranto: KPK Bagian Eksekutif, Pegawai Harus Jadi PNS Menkopolhukam Wiranto memastikan pegawai KPK menjadi PNS usai revisi UU KPK disahkan DPR(CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
 Menkopolhukam Wiranto menegaskan bahwa pegawai KPK harus menjadi aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai negeri sipil (PNS) setelah UU KPK yang direvisi disahkan.

Dalam UU KPK yang telah direvisi, KPK merupakan lembaga yang termasuk dalam rumpun eksekutif. Karenanya, kata Wiranto, pegawai KPK akan menjadi PNS.

"Karena bagian dari lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga status pegawai KPK juga harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN," ujar Wiranto di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (18/9).


Wiranto menuturkan dalam pasal 1 angka 6 UU KPK dikatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang menjadi bagian dari eksekutif. Dengan demikian, pegawai KPK sudah seharusnya menjadi bagian dan tunduk pada UU ASN.

Wiranto menyampaikan status ASN juga diperlukan untuk memastikan segala pelaksanaan tugas pokok dan fungsi pegawai KPK ke depan. Dengan status itu pula, pegawai KPK menjadi terikat di dalam organisasi resmi yang didukung oleh UU.

"Artinya untuk memberikan kepastian hukum kepada pegawai KPK dan ASN itu diberikan waktu dua tahun untuk diangkat jadi ASN. Ini sudah sesuai juga dengan peraturan perundang-undangan," ujarnya.

Meski KPK termasuk dalam rumpun eksekutif, lanjut Wiranto, bukan berarto lembaga antirasuah tersebut bisa diintervensi. Dia menjamin KPK bebas melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU.

"Jadi sebenarnya kita tidak perlu kemudian resah dengan adanya masuk ke rezim pemerintah ini," ujar Wiranto.

Mantan Panglima ABRI itu menyampaikan posisi KPK di ranah eksekutif juga merupakan amanah Mahkamah Konstitusi. Ia yakin MK menetapkan KPK sebagai lembaga negara di ranah eksekutif sudah melalui pertimbangan yang matang.

Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah disahkan dalam sidang paripurna DPR pada Selasa (17/9). Ada sejumlah poin perubahan.

Salah satunya yakni soal posisi KPK berada di rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangannya dan tugasnya tetap independen.

Saat belum disahkan, poin tersebut menuai kritik dan penolakan dari banyak pihak. Mereka merasa pegawai KPK menjadi tidak independen dalam mengusut perkara jika statusnya menjadi ASN.

Mantan calon wakil presiden Sandiaga Uno pun tidak setuju. Dia cemas independensi pegawai KPK menjadi terganggu.

"Karena begitu sebagai ASN, akhirnya akan masuk ke dalam undang-undang ASN, dan independensinya mungkin akan terkendala," ujarnya.                                                                                                                                                                                                                                                     Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918200741-32-431723/wiranto-kpk-bagian-eksekutif-pegawai-harus-jadi-pns
Share:

Adik Imam Nahrawi: Terima Kasih KPK Tunjukkan Kezaliman

Adik Imam Nahrawi: Terima Kasih KPK Tunjukkan Kezaliman Menpora Imam Nahrawi menjadi tersangka suap dana hibah dari Kemenpora untuk KONI. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
 Adik Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, Syamsul Arifin, mengatakan penetapan tersangka sang kakak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki unsur politis dan zalim.

"Sangat, faktor politis sangat kentara sekali, sangat kentara sekali," kata Syamsul, saat dikonfirmasi awak media, Rabu (18/9).

Ia bahkan menuding lembaga antirasuah telah berbuat zalim terhadap kakaknya. Kezaliman itu, kata dia, dengan melakukan penetapan tersangka secara tak wajar. Keluarga mengaku terkaget.


"Ya pertama saya terima kasih kepada KPK yang telah menunjukkan kezalimannya di negara ini. Kedua, tentunya atas nama keluarga saya merasa, kaget dan gak percaya," katanya.
Menurut Syamsul, penetapan tersangka Nahrawi ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tiba-tiba. Ia pun menuding KPK telah melakukan penyidikan tak sesuai alur yang semestinya.

"Setahu saya semua itu ada alur menetapkan orang sebagai tersangka. Ada alur hukum yang harus ditempuh dan diketahui orang banyak. Ojok singitan, jangan sembunyi-sembunyi, apalagi tiba-tiba," ujar Syamsul.

Ia bahkan mengatakan KPK saat ini belum memiliki bukti yang cukup kuat untuk menjerat sang kakak. Menurutnya, KPK harus lebih dulu mencari bukti-bukti jika memang Nahrawi terlibat praktik korupsi.

"Kalau memang ada bukti bersalah silakan, itu kewenangan KPK. Kalau kesalahan dibuat-buat, belum ada bukti, ini langkah kezaliman. Saya punya tuhan yang kuasa," kata Syamsul.

Diberitakan sebelumnya, Imam, yang merupakan kader PKB, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar sebagai bentuk comitment fee pengurusan proposal yang diajukan KONI kepada Kemenpora.

"Total dugaan penerimaan Rp26,5 miliar diduga commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI ke Kemenpora, terkait Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan selaku Menpora," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/9).

Uang itu diterima secara bertahap yakni sebesar Rp14,7 miliar dalam rentang waktu 2014-2018 melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum yang juga menjadi tersangka dalam perkara ini

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918212325-12-431764/adik-imam-nahrawi-terima-kasih-kpk-tunjukkan-kezaliman
Share:

KPK Menyadap Seizin Pengawas, Wiranto Sebut Demi Hormati HAM

KPK Menyadap Seizin Pengawas, Wiranto Sebut Demi Hormati HAM Menkopolhukam Wiranto menganggap penyadapan KPK harus seizin Dewan Pengawas dalam rangka menghormati HAM(CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
  Menkopolhukam Wiranto menyatakan bahwa penyadapan harus dilakukan KPK atas izin Dewan Pengawas merupakan bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Itu juga perlu demi menjaga akuntabilitas dalam melakukan penyadapan.

Berdasarkan UU KPK yang baru saja direvisi dan telah disahkan, KPK harus mendapat izin dari Dewan Pengawas sebelum menyadap seseorang dalam proses penyelidikan atau penyidikan.

"Dalam pelaksanaan penyadapan dibutuhkan izin tertulis dari Dewan Pengawas agar penyadapan sesuai dengan due process of law dan justru memberikan penghormatan kepada HAM dan menjaga akuntabilitas dalam melaksanakan penyadapan," ujar Wiranto di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (18/9).


Wiranto menilai penyadapan sejatinya melanggar HAM. Meski begitu, Wiranto mengatakan penyadapan diizinkan demi kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas sebuah dugaan tindak pidana korupsi.

Itu pun tetap perlu dibatasi. Wiranto cemas kebebasan KPK melakukan penyadapan akan menimbulkan tudingan kesewenang-wenangan.

"Harus ada pembatasan, ada aturan yang membatasi itu (penyadapan). Nah aturannya bagaimana? Izin dari Dewan Pengawas," ujarnya.

Lebih lanjut, Wiranto yakin bahwa kewajiban KPK mendapat izin dari Dewan Pengawas sebelum menyadap seseorang tidak akan menjadi polemik jika disikapi secara positif. Ia kembali mengatakan, dengan ada izin dari Dewan Pengawas, KPK akan terhindar dari tudingan melakukan tindakan sewenang-wenang.

"Karena ada Dewan Pengawas tadi melakukan justifikasi bahwa penyadapan itu didasarkan suatu kepentingan yang betul-betul dapat dipertanggungjawabkan," ujar Wiranto.

Wiranto juga mengatakan bahwa penyadapan melalui Dewan Pengawas termasuk bagian dari penguatan. Apabila ada pandangan bahwa izin itu akan memperpanjang proses penyadapan, Wiranto menilai hal itu hanya sebatas persoalan teknis.

"Dan saya kita nanti tergantung para pengawas ini yang betul-betul harus mempunyai kredibilitas yang tinggi, punya legitimasi yang tinggi, dan orang-orang yang terpercaya," ujarnya.

Mengenai Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), Wiranto menilai itu perlu dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada seseorang dalam kasus tindak pidana korupsi. Diketahui, kini KPK bisa menerbitkan SP3 terhadap orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka selama 2 tahun.

Menurutnya, KPK tidak bisa menggantungkan status seseorang sebagai tersangka dalam kurun waktu yang tak terbatas. Dia menilai itu sama dengan pelanggaran HAM.

"Tidak mungkin kita menyandera orang menjadi tersangka dengan tidak jelas jangka waktunya, bahkan sampai mati. Orang sampai mati sebagai tersangka, belum terbukti, belum diadili tapi masuk liang kubur menjadi tersangka tipikor," ujar Wiranto.

Terkait kewenangan KPK mengeluarkan SP3, Wiranto juga menilai itu sebagai sebuah penguatan. Sebab, ia menyebut kebijakan itu sejatinya hanya ada di Kejaksaan Agung.

"Ini kan penguatan KPK punya kewenangan untuk menghentikan penyidikan dengan jangka waktu satu tahun, usulan pemerintah mungkin dua tahun nanti kami pastikan," ujarnya.

Wiranto lalu menegaskan bahwa seseorang berhak mendapat kepastian hukum. Karenanya, SP3 perlu diterbitkan jika tidak ada bukti yang cukup untuk dilimpahkan ke pengadilan.

"Jadi sebenarnya ini bukan melemahkan KPK tapi menempatkan KPK sebagai suatu penegak hukum yang humanis walaupun tegas, tapi tetap memperhatikan HAM. Siapa yang bilang melemahkan, saya kira tidak," ujar Wiranto

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918163230-32-431630/kpk-menyadap-seizin-pengawas-wiranto-sebut-demi-hormati-ham
Share:

Recent Posts